Pembentukan ASEAN ; Dari SEATO sampai ASEAN







1.         Pembentukan SEATO
                 Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) adalah sebuah organisasi internasional untuk pertahanan kolektif yang ditandatangani pada 8 September 1954. Lembaga formal didirikan SEATO pada pertemuan mitra perjanjian di Bangkok pada Februari 1955. Hal itu terutama dibuat untuk memblokir lebih lanjut komunis di Asia Tenggara.. Markas organisasi terletak di Bangkok, Thailand. SEATO dibubarkan pada tanggal 30 Juni 1977.
              Sejak tahun 1950-an, Politik bebas aktif Indonesia bukan sikap melawan AS, tetapi oleh AS dinilai kurang tegas dalam memihak blok Barat melawan blok komunis. AS membentuk Organisasi Pakta Pertahanan Asia Tenggara (Southeast Asia Treaty Organization atau SEATO) untuk menghimpun kekuatan Asia Tenggara di bawah pimpinan AS dan Inggeris untuk melawan blok komunis, tetapi Indonesia tidak ikut serta di dalamnya. Indonesia dengan Dasar Negara Pancasila tidak setuju dengan paham komunis dan akan selalu menjaga agar paham komunis tidak menguasai Indonesia. Akan tetapi Indonesia tidak mau memihak blok Barat karena mempunyai sikap politik bebas aktif. Demikian pula sekarang, Indonesia melawan terrorisme dari mana pun datangnya, tetapi tidak berarti Indonesia harus dalam segala hal memihak AS. Sikap demikian ini tidak dikehendaki AS sejak dulu.
Anggota SEATO
1.      Australia
2.      Bangladesh (as East Pakistan ) Bangladesh (sebagai Pakistan Timur)
3.      Perancis
4.      New Zealand Selandia Baru
5.      Pakistan Pakistan
6.      Philippines Filipina
7.      Thailand
8.      Kerajaan Inggris
9.      Amerika Serikat
              SEATO merupakan aliansi militer pimpinan AS didirikan tahun 1954 untuk membantu perlawanan terhadap ekspansi komunis di Asia Tenggara. SEATO merupakan keseimbangan tradisional dari pendekatan kekuasaan via aliansi eksternal untuk keamanan regional. Sejak Malaysia dan Singapura dikolonisasi oleh Inggris, mereka bukan lagi anggota SEATO. Indonesia juga menolak masuk sebagai anggota SEATO. Negara-negara baru ini memiliki pandangan bahwa masalah regional semestinya diselesaikan oleh badan lokal.
              Pembentukan SEATO merupakan tanggapan terhadap permintaan bahwa daerah Asia Tenggara dilindungi terhadap ekspansionisme komunis, terutama karena diwujudkan melalui agresi militer di Korea dan Indocina dan melalui subversi didukung oleh pasukan bersenjata yang terorganisir di Malaysia dan Filipina. Vietnam, Kamboja, dan Laos (negara penerus dari Indocina) tidak dipertimbangkan untuk keanggotaan dalam SEATO untuk alasan yang berhubungan dengan perjanjian Jenewa tahun 1954 di Vietnam. Negara-negara yang, bagaimanapun, diberikan perlindungan militer oleh protokol. Negara-negara lain dari Asia Selatan dan Tenggara lebih suka mempertahankan mereka kebijakan luar negeri dari nonalignment. Perjanjian itu ditetapkan tujuan sebagai ketentuan hanya dan termasuk defensif untuk membantu diri sendiri dan saling membantu dalam mencegah dan melawan kegiatan subversif dari luar dan kerjasama dalam mempromosikan kemajuan ekonomi dan sosial. SEATO tidak memiliki kekuatan berdiri tetapi mengandalkan kekuatan mencolok mobile dari negara-negara anggotanya, yang terlibat dalam latihan militer gaungan. Pada 30 Juni 1977, SEATO dibubarkan setelah terjadinya perubahan besar di kawasan Asia Tenggara, khususnya yang terkait dengan kekalahan Amerika dalam Perang Vietnam.
2.    ASA
                     Kerja sama regional Asia Tenggara berikutnya adalah Association of Southeast Asia (ASA), dibentuk tahun 1961. ASA beranggotakan Malaya, Muangthai, dan Filipina, sehingga merupakan kerja sama regional yang pertama kali tidak menyertakan negara luar wilayah. Asosiasi ini merupakan pengganti yang lemah bagi organisasi  SEATO (organisasi pakta Asia Tenggara) yang  telah semakin mengecewakan para anggotanya.
                     Ketika Indonesia diajak oleh Tengku Abdul Rachman untuk ikut serta dalam ASA (1960), Presiden Soekarno dengan tandas menyatakan bahwa ia lebih suka ingin bekerja sama dalam kontek Asia-Afrika yang lebih merupakan  konsep politik daripada regional.
                     Walaupun ASA dan Maphilindo dibentuk oleh negara-negara Asia  Tenggara sendiri, tanpa ikut sertanya negara lain di luar kawasan, namun nyataannya sulit mempertahankan hidupnya, apalagi untuk berkembang. Hal ini disebabkan karena kerja sama ASA tidak dapat bertahan lama, dan keberhasilannya pun tidak banyak dan pula kurang mengesankan. dibandingkan dengan dua minggu atau lebih umur Maphilindo, maka dengan masa enam tahun sejak dibentuknya tahun 1961, dan sampai secara resmi di bubarkanya tahun, ASA masih dapat membanggakan diri diri, walaupun seharusnya dikurangi lagi karena ASA hanya dapat hidup secara efektif dari bulan juli 1961 sampai dengan april 1963, dan dalam masa tiga tahun berikutnya ASA telah lumpuh akibat sengketa sabah yang dianut filipina terhadap malaysia.
                     Indonesia menyatakan jika masalah Malaysia, maka baru dapat di ambil langkah selanjutnya yakni menjalin kerja sama yang erat berdasarkan Prinsip-prinsip saling menguntungan antar negara-negara asia tenggara. Indonesia mau menghidupkan kembali gagasan maphiliandho dalam lingkup yang lebih luas untuk mencapai suatu asia tenggara yang berkarjasama dalam berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
3.    MAPHILINDO
                     Setelah ASA tidak dapat bertahan lama karena terjadi konflik antara Filipina dan Malaysia atas status daerah sabah yang diklaim sebagai bagian dari wilayah Filipina.Konflik tersebut kemudian mendorong terbentuknya organisasi Maphilindo (Malaya, Philipina dan Indonesia) pada tahun 1963Maphilindo merupakan gagasan untuk menyatukan Ras melayu yang ada di wilayah Malaya, Philipina dan IndonesiaAkan tetapi usaha tersebut gagal dengan dibentuknya negara Malaysia oleh Inggris sehingga Indonesia dan Philipina menentang pembentukan negara Malaysia itu.
                     Maphilindo (singkatan Malaya, Philipina dan Indonesia) adalah sebuah rencana konfederasi non-politik untuk 3 negara diatas rencana awalnya adalah menciptakan 1 negara berdasarkan konsep ras Melayu yang akan dilakukan oleh Wenceslao Vinzons pada era pemerintahan persemakmuran di Philipina. Disana dia mengusulkan sebuah Persatuan Ras Malaya - sebuah ide Malaya Irredentia (Malaya Irredentia juga sebuah alternatif nama selain MaphilindoPada Juli 1963, Presiden Diosdado Macapagal dari Philipina menyelenggarakan sebuah pertemua di Manila. 
                     Maphilindo direncanakan sebagai sebuah realisasi dari mimpi Jose Rizal, yang berupaya menyatukan seluruh penduduk Melayu, yang telah dibelah - belah oleh para negara kolonial. Maphilindo dideskripsikan sebagai sebuah asosiasi regional yang akan membahas isu-isu umum dalam semangat konsensus. Tapi Maphilindo juga dilihat sebagai sebuah taktik dari Jakarta dan Manila untuk menunda, atau malah mencegah pembentukan Federasi Malaysia. Manila punya klaim ke Sabar (British North Borneo), dan Jakarta memprotes pembuatan Negara Malaysia sebagai antek imperalis Inggris. Rencana ini gagal ketika Soekarno mengadopsi taktik konfrontasi Dengan Malaysia. Perkembangan dari ASEAN dikemudian hari akhirnya membuat proyek ini tidak muncul ke permukaan lagi.
                     Bertolak dari proses berakhirnya organisasi-organisai regional sebelum ASEAN dan menjelang lahirnya ASEAN, jelas bahwa ASEAN merupakan penjelmaan KAA, ASA dan maphilindo. KAA memberi kedudukan perintis bagi Indonesia dalam ASEAN (meskipun ruang pengaruh menyempit),sedangkan dari ASA dan MAPHILINDO mencakup anggota dan tujuan ASEAN (termasuk sifat yang non komunis) sebagai penerus organisai-organisasi sebelum ASEAN itu.
D.    Pembentukan ASEAN
       1.           Latar Belakang Politik Dan Ekonomi Berdirinya ASEAN
       A.           Latar Belakang Politik
               Sejak tahun 1945 itu, berkembanglah berbagai ikrar kerja sama regional di hampir seluruh kawasan dunia yang penting seperti di Eropa, Timur Tengah, Asia, Afrika dan Amerika Latin. Salah satu asumsi pokok kerja sama regional adalah bahwa kedekatan geografis akan memudahkan upaya-upaya saling memahami di antara negara-negara yang bertetangga sehingga masalah-masalah yang mungkin dapat menjurus kepada pertikaian berlanjut dapat diatasi dengan segera atas dasar hidup berdampingan secara damai (Luhulima, 1986:6). Pada awalnya pendirian ASEAN tidak mencantumkan kerjasama dalam bidang politik tetapi dalam perkembangan berikutnya, perserikatan itu membawa arah kerjasama dalam bidang-bidang yang akam memiliki dampak politik atau akan mengarah kepada solidarista politik (Sardiman, 1983:79).
               ASEAN (Association of South East Asian Nations) yang berarti Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara, adalah organisasi regional yang dibentuk oleh kelima negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Muangthai dengan penandatanganan Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok oleh kelima Menteri Luar Negeri negara-negara tersebut pada tanggal; 8 Agustus 1967 di Bangkok (Alfian dkk., 1986:1).
               Dalam Deklarasi Bangkok dinyatakan bahwa ASEAN didirikan dengan tujuan untuk meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi usaha kerjasama regional dalam usaha mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan kebudayaan. Peranan lain yang dimainkan oleh ASEAN menanggapi berkecamuknya Perang Indocina di Vietnam, diajukanlah proposal pertama dalam ASEAN mengenai pembentukan ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality). ZOPFAN ini bersifat sukarela dan tidak memaksa. Negara-negara ASEAN sendiri yang kemudian harus menentukan apa tindakannya terhadap ZOPFAN tersebut.
               Merunut dari sejarahnya, negara-negara di kawasan Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Kamboja, Filipina, Thailand, Vietnam, Burma, dan Laos, mayoritas pernah mengalami masa-masa kolonialisme dan imperialisme. Kecuali Thailand, negara-negara tersebut merupakan bekas tanah jajahan kolonial Eropa (Portugis, Spanyol, Prancis, Belanda, dan Inggris) dan Amerika. Hal ini berlangsung pada zaman pra-Perang Dunia I sampai pasca-Perang Dunia II.
               Imperialisme dan kolinialisme yang dilakukan bangsa Eropa terhadap negara di Asia Tenggara merujuk pada sistem pemerintahan serta hubungan ekonomi dan politik negara-negara kaya dan berkuasa, mengawal dan menguasai negara-negara          lain yang dianggap terbelakang dan miskin dengan tujuan untuk mengeksploitasi sumber-sumber yang ada di negara tersebut untuk menambah kekayaan dan kekuasaan negara penjajahnya. Eksploitasi ini seringkali diawali dengan pendudukan wilayah (kolonialisme atau penjajahan) di negara sasaran. Negara-negara imperialis ingin memperoleh keuntungan dari negeri yang mereka kuasai karena sumber ekonomi yang mereka miliki tidak mencukupi.          
                           Berakhirnya Perang Dunia II melahirkan negara Dunia Ketiga di kawasan Asia Tenggara yang baru saja merdeka terlepas dari penjajahan. Kolonialisme Barat memberikan pengaruh terhadap pembentukan negara merdeka beserta bentuk dan sistem pemerintahan yang bekerja di dalamnya. Negara-negara ini kemudian membentuk sebuah organisasi yang berlatar belakang agama, wilayah, bahasa, etnis, budaya, dan pengalaman kolonial yang disebut dengan ASEAN (Association of South East Asian Nations) (Cipto, 2007: 38). Pascakolonialisme, negara-negara ini kemudian bersepakat untuk menentukan nasib bangsa mereka sendiri.
               Masa kolonialisme dan imperialisme ini berakhir seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II yang melahirkan dua kekuatan besar, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perseteruan yang berlandaskan perbedaan ideologi di antara keduanya menyebabkan terjadinya Perang Dingin dan terbaginya dunia menjadi Blok Barat (liberalisme) yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur (komunisme) yang dipimpin oleh Uni Soviet. Adanya Perang Dingin yang terjadi antara tahun 1947-1991 memiliki implikasi tersendiri terhadap negara Asia Tenggara. Adam Malik berpendapat bahwa kawasan ASEAN merupakan tempat bertemunya kepentingan negara-negara besar (Cipto, 2007: 42).
                                    Pertemuan kepentingan negara besar ini terlihat secara jelas di Vietnam yang saat itu menjadi perebutan pengaruh wilayah antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Vietnam Utara dikomandoi oleh Uni Soviet, sedangkan Vietnam Selatan yang liberalis memperoleh bantuan dari Amerika Serikat. Perang saudara yang terjadi di antara keduanya menimbulkan banyak kerugian yang berujung pada kekalahan Amerika Serikat. Perang Vietnam ini cukup menguji eksistensi ASEAN yang tengah berjuang menciptakan keseimbangan dan perdamaian antarnegara anggota. Netralitas ASEAN juga turut dipertanyakan karena sebagian anggotanya ada yang masih memihak kepada salah satu blok. Singapura dan Malaysia masih merupakan negara persemakmuran Inggris. Thailand dan Filipina juga memiliki kerjasama keamanan formal dengan Amerika Serikat. Negara besar lainnya, Cina, juga turut memberikan pengaruhnya kepada Singapura, Thailand, dan Filipina, selain juga memiliki sentimentil khusus dengan Malaysia dan Indonesia terkait pemberontakan Komunis (Cipto, 2007: 43-44). Oleh karenanya, ASEAN kemudian memantapkan langkah untuk membentuk ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality) meskipun dalam realisasinya masih belum bisa optimal.
                                    Kemenangan komunis pascaperang Vietnam berdampak pada stabilitas regional. Vietnam memutuskan untuk melakukan invasi ke Kamboja untuk menggulingkan rezim Pol Pot (pemimpin partai Komunis Khmer Merah). Itikad baik ASEAN untuk membantu menyelesaikan permasalahan ini mengingat adanya dampak instabilitas di Thailand (sebagai tujuan pengungsi dan sisa pasukan Khmer Merah) ditolak oleh Vietnam. Kecaman dunia internasional, khususnya melalui serangan Cina dan hasil Sidang Umum PBB, ditambah dengan desakan ASEAN akhirnya membuat Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja. Uni Soviet yang awalnya mendukung Vietnam, ketika berganti kepemimpinan di bawah Mikhail Gorbachev memutuskan untuk menarik bantuannya kepada negara-negara komunis. ASEAN pasca-Perang Dingin secara bertahap menjadi stabil, dengan adanya otonomi di masing-masing negara kawasan Asia Tenggara tanpa terlalu banyak intervensi politik dari negara besar.
       B.           Latar Belakang Ekonomi
                                    Kemenangan Amerika Serikat pasca-Perang Dingin menjadikannya sebagai satu-satunya negara adidaya. Hegemoni ini secara otomatis memiliki peranan tertentu terhadap negara lain, khususnya dalam bidang ekonomi mengingat Amerika Serikat adalah negara kaya yang memiliki tujuan untuk melindungi kekuatan ekonomi Amerika Serikat sejalan dengan kontrol terhadap perekonomian dunia (Kolko, 1969: 83). Kepentingan Amerika Serikat dalam distribusi dan struktur kekuasaan perekonomian dunia dipahami melalui penentuan dasar penting serta prediksi perannya di luar negeri (Kolko, 1969: 49). Implikasinya terlihat dalam peranan penting Amerika Serikat terutama bagi kelangsungan perekonomian negara-negara Dunia Ketiga yang tergolong baru dan masih miskin. Industrialisasi negara besar khususnya Amerika Serikat berkembang amat pesat seiring dengan perbaikan stabilitas dunia, yang tentu memerlukan sumber bahan industri. Dalam analisis terakhir, dunia industri membutuhkan sumber daya negara Dunia Ketiga yang kebanyakan adalah negara agraris. Kondisi ini seolah-olah menunjukkan bahwa negara besar amat memerlukan negara Dunia Ketiga. Namun, realitas yang terjadi adalah kemiskinan yang bukan merupakan hal baru bagi kaum tani yang malah terputus dari sektor ekspor dan perdagangan dengan negara-negara industri tidak meningkatkan standar hidup mereka (Kolko, 1969: 50).
                                    Ketergantungan negara Dunia Ketiga terhadap bantuan negara besar terus meningkat akibat kemiskinan yang tidak kunjung berakhir. Namun hal ini tidak terjadi di semua negara kawasan Asia Tenggara karena beberapa negaranya merupakan negara industri, seperti Singapura. Bagi Singapura, peran negara besar lebih kepada kerja sama perdagangan dan ekspor impor dibanding sistem pinjaman yang diterapkan Amerika kepada negara berkembang. Melalui penerimaan pinjaman terikat –bukan hibah– Amerika, negara berkembang bisa mengembangkan sistem perekonomian di negaranya. Bagi Amerika, hal ini merupakan sarana utama untuk memperpanjang kapitalisme dan kontrol ekonomi ke dalam lingkup itu (Kolko, 1969: 70-71).

                                    Selain sistem pinjaman, Amerika Serikat juga melakukan investasi kepada negara-negara berkembang. Pembangunan di negara berkembang terus ditingkatkan seiring dengan banyaknya perusahaan yang bermunculan melalui besarnya investasi. Amerika Serikat yakin bahwa kepemilikan pribadi, operasi industri, dan perusahaan ekstraktif memberikan kontribusi lebih efektif daripada kepemilikan publik dan operasi terhadap peningkatan umum dari perekonomian suatu negara (Kolko, 1969: 78). Hal ini pada akhirnya akan memperkuat hegemoni Amerika Serikat dalam interaksi dunia internasional. Penghapusan hegemoni Amerika Serikat merupakan prasyarat penting bagi munculnya bangsa dan dunia di mana kelaparan, penindasan, dan perang massal tidak lagi karakteristik yang tak terelakkan dan berkesinambungan bagi peradaban modern (Kolko, 1969: 87).