Berbicara dinamika politik di wilayah Asia Tenggara tidak bisa lepas dari perkembangan ideologi komunisme, tersebarnya komunisme di wilayah semenanjung Indo – China, Perang Vietnam dan juga konflik di negara Kamboja. Dan juga tidak lepas dari berkuasanya junta militer di negara Myanmar yang sampai hari ini ditengarai masih melakukan berbagai macam pelanggaran HAM.
1. Vietnam
Berakhirnya
perang Indocina yang ditandai dengan jatuhnya reziem Saigon berarti memberikan
kemenangan bagi kaum komunis. Cita-cita Ho chi Minh mengenai ”kemerdekaan dan
persatuan” dibawah panji-panji komunisme mulai mencicipi satu kenyataan.
Peristiwa ini telah membawa perubahan-perubahan yang cukup mendasar bagi peta
politik di Asia Tenggara, sehingga menimbulkan berbagai spekulasi dan opini
masyarakat, juga para pengamat politik tergerak perhatiannya pada masalah,
bagaimana pengaruh kemenangan komunis di Indocina dan bagaimana pula posisi
ASEAN di Asia Tenggara.
Gerakan
komunis Vietnam senantiasa berkaitan erat dengan proses perjuangan rakyat
melawan penjajahan bangsa asing. Kalau sebelum jatuhnya benteng Dien
Bien Phu, gerakan komunis harus berperang melawan Perancis, kemudian
sesudah itu harus berhadapan dengan Amerika Serikat yang dinilai sebagai
imperialis pengganti penjajahan Perancis. Pada bulan April tahun 1975 merupakan
saat yang menentukan bagi perkembangan politik di Asia Tenggara. Karena pada
waktu itu tumbangnya kekuasaan non-komunis Lo Nol di Kamboja dan jatuhnya
reziem Nguyen Van Thieu di Vietnam Selatan, yang sekaligus tumbanglah pengaruh
Amerika Serikat di kawasan Indocina.
Rezim
komunis yang berkuasa di Vietnam dalam Hanoi Blue Print
menyebarkan paham komunis ke Asia Tengggra. Ada tiga poin penting dalam Hanoi
Blue Print yaitu:
1.
Konsilidasi
antara Vietnam utara dan selatan. Menjadikan Vietnam satu bangsa yang bulat dan
kokoh memenuhi kebutuhan sendiri.
2.
Menjadikan
Hanoi sebagai satu-satunya kekuatan atau Laos dan Kamboja yang merupakan dua
negara komunis, tetapi memiliki orientasi yang berbeda. Dengan pasal itu
Vietnam saling berjuang untuk mempersatukan antara Laos dan Kamboja dibawah
pengakuan Hanoi.
3.
Memperluas
pengaruh kekuasaan baik politik maupun ekonomi atas seluruh wilayah Asia
Tenggara untuk perlu menempuh jalan subversi dengan membantu rencana militer
terhadap setiap perjuangan di daerah-daerah lain (Berdasarkan rencana di atas,
dimana Vietnam akan menyebarkan paham komunis di Asia Tenggara yang tentu saja
menimbulkan perubahan politik di Asia Tenggara terutama dalam rangka menangkis
serangan komunisme.
2. Laos
Keadaan
Laos tidak jauh berbeda dengan negara-negara di kawasan Indocina lainnya dimana
komunisme juga memberikan warna terhadap perkembangan politik terutama paska
perang Vietnam. Di Laos tidak ada kata damai karena perebutan kekuasaan antara
tiga kelompok yaitu ;
1.
Nasionalis
adalah kelompok pangerang Oune Sananikone yang lebih dekat dengan Thailand.
2.
Komunis
adalah kelompok pangeran Souphanavong yang banyak berkenalan dengan paham
sosialis dan menjalin hubungan dengan Hi Chi Minh.
3.
Kelompok
Tengah adalah kelompok Souvanna Phoma (Soeparman, 1986:42).
Ketiganya
memiliki pandangan sendiri-sendiri, perpecahan antar pemimpin tersebut semakin
menajam ketika Souphanavong berserta Phatet Laonya dengan bantuan tentara
Vietminh terus melancarkan serangan dan memperluas daerah pengaruh, sementara
golongan kanan yang nasioanalis semakin kaya karena bantuan Amerika Serikat.
Perdana
Menteri Laos diduduki oleh Souvana Phoma, dan terus berusaha membentuk koalisi
dengan Souphanavong. Pada tanggal 2 Februari 1973 mereka mengadakan perjanjain damai,
hal ini menimbulkan banyak reaksi, dan golongan yang mendukung kanan
(nasionalis) dan kalangan militer menuduh bahwa Phoma telah menjual Laos kepada
orang-orang komunis (Sardiman, 1983:61). Oleh karena itu militer di bawah
Jenderal Thouma melakukan kudeta. Namun kudeta itu tidak direstui Amerika
Serikat dan lewat John Dean Gunter, Wakil Dubes Amerika Serikat menyampaikan
lebih mendukung politik koalisi yang dijalankan oleh PM. Phoma. Hal ini
menyebabkan gagalnya kudeta dan terbunuhnya Jend. Thouma sedangkan
pengikut-pengikutnya melarikan diri ke Thailand.
Dengan
adanya perkembangan baru ini memberikan peluang komunis untuk berkembang dan
tentu saja sangat menggembirakan pihak Hanoi. Hal ini terlihat dalam pemilu
1975, komunis memperoleh kemenangan sehingga dapat mengendalikan pemerintahan
Laos. Tetapi pemerintahan ini menghadapi masalah baru, Laos tidak memiliki
daerah pantai sebagai pelabuhan, dan sebelumnya jalan lalu lintas perekonomian
melewati Muangthai. Kedua negara ini saling bersahabat sebelum Phatet Lao
berkuasa. Tetapi hubungan ini semakin memburuk ketika Laos jatuh ketangan
Komunis, karena Thailand mengambil Policy Anti Komunis. Masalah
lain yang dihadapi Laos adalah tidak dimilikinya tenaga-tenaga ahli yang
berpengalaman diberbagai bidang, karena banyak tenaga ahli yang lari ke Thailand
Dalam
kesempatan seperti itu, Vietnam muncul untuk memberikan bantuan kepada Laos
sekaligus untuk memperluas pengaruhnya. Tanggal 18 Juli 1979 telah
ditandatangani deklarasi bersama ketika PM Pham Van Dong, Sekjen Partai Komunis
Vietnam Le Duan, dan Wakil Menteri Pertahanan Letjend Chu Huy Man berkunjung ke
Vientiene ibukota Laos. Isi deklarasi tersebut adalah :
1.
Persetujuan
Militer, artinya Laos akan dibela oleh Vietnam menghadapi ancaman dari luar.
2.
Persetujuan
ekonomi, hal ini berarti Laos mengekspor produksinya tidak lagi melalui
Muangthai, tetapi melalui pelabuahn Danang di Vietnam bagian selatan dan
diangkut ke danang melalui darat dengan peralatan modern.
3.
Mengenai
ASEAN, kedua belah pihak (Vietnam dan Laos) mengutuk keras usaha-usaha AS yang
mempergunakan ASEAN untuk menentang arus ke arah kemerdekaan sejati,
perdamaian, serta kenetralan di kawasan Asia Tenggara. Keduanya sepakat bahwa
usaha-usaha yang dilakukan oleh para penguasa negara-negara ASEAN guna
memperkuat persekutuan militer bilateral antara AS dan negara anggota ASEAN
dengan papan anti komunis, yang berarti akan mengubah ASEAN menjadi persekutuan
militer secara de fakto (Sardiman, 1983:63).
ASEAN
menilai perjanjian itu tidak lain sebagai perjanjian militer dalam rangka
melaksanakan prinsip komunisme yang ingin mengkomuniskan negara-negara tetangga
yang belum komunis. Pernyataan-pernyataan Vietnam yang akan selalu mendukung
gerakan-gerakan (gerakan komunisme) di Asia Tengara yang ingin memperoleh
kemerdekaan sejati, perdamaian dan kehidupan demokratis. Hal ini perlu dipahami
bahwa dalam perjuangan komunisme menggunakan tiga cara yang hamper sama
dilakukan oleh negara-negara lain yaitu:
1.
Propaganda; mereka menyatakan diri sebagai partai milik rakyat yang mengabdi pada
kebebasan demokrasi, keadilan soasial dan menentang semua bentuk reaksi serta
ketidakadilan sosial.
2.
Infiltrasi; komunis
akan mengadakan penyusupan ke dalam partai politik, serikat buruh, dewan
tentara, dan pemerintahan daerah.
3.
Kekerasan; mengambil
alih pemerintahan dengan cara kudeta (Ebenstein, dkk., 1990:28).
3. Konflik Kamboja Dan Invasi Vietnam
Pada
tahun 1863, Raja Norodom, yang dilantik oleh Thai, mencari perlindungan kepada
Perancis. Pada tahun 1867, Raja Norodom menandatangani perjanjian dengan pihak
Perancis yang isinya memberikan hak kontrol provinsi Battambang dan Siem Reap
yang menjadi bagian Thai. Akhirnya, kedua daerah ini diberikan pada Kamboja
pada tahun 1906 pada perjanjian perbatasan oleh Perancis dan Thai. Kamboja
dijadikan daerah Protektorat oleh Perancis dari tahun 1863 sampai dengan 1953,
sebagai daerah dari Koloni Indochina.
Setelah
penjajahan Jepang pada 1940-an, akhirnya Kamboja meraih kemerdekaannya dari
Perancis pada 9 November 1953. Kamboja menjadi sebuah kerajaan konstitusional
dibawah kepemimpinan Raja Norodom Sihanouk. Pada saat Perang Vietnam tahun
1960-an, Kerajaan Kamboja memilih untuk netral. Hal ini tidak dibiarkan oleh
petinggi militer, yaitu Jendral Lon Nol dan Pangeran Sirik Matak yang merupakan
aliansi pro-AS untuk menyingkirkan Norodom Sihanouk dari kekuasaannya. Dari
Beijing, Norodom Sihanouk memutuskan untuk beraliansi dengan gerombolan Khmer
Merah, yang bertujuan untuk menguasai kembali tahtanya yang direbut oleh Lon
Nol. Hal inilah yang memicu perang saudara timbul di Kamboja.
Khmer
Merah akhirnya menguasai daerah ini pada tahun 1975, dan mengubah format
Kerajaan menjadi sebuah Republik Demokratik Kamboja yang dipimpin oleh Pol Pot.
Mereka dengan segera memindahkan masyarakat perkotaan ke wilayah pedesaan untuk
dipekerjakan di pertanian kolektif. Pemerintah yang baru ini menginginkan hasil
pertanian yang sama dengan yang terjadi pada abad 11. Mereka menolak pengobatan
Barat yang berakibat rakyat Kamboja kelaparan dan tidak ada obat sama sekali di
Kamboja. Kamboja merupakan negara berbentuk monarki konstitusional di wilayah
Asia Tenggara seluas 181.035 km2 yang berbatasan dengan
Thailand, Laos dan Vietnam. Pada periode 1975-1979, 1,5 hingga 2 juta penduduk
atau sekitar 20% dari jumlah populasi dari 7-8 juta penduduk tewas dibantai
oleh rezim Khmer Merah dalam rangka revolusi ekstrimis agraris
(Schanberg, 2004:71).
4. Konflik Perbatasan Kamboja Dan
Vietnam
Pada
dasarnya konflik antara Vietnam dengan Kamboja yang terjadi yang menyebabkan
timbulnya invasi oleh Vietnam kepada kamboja antara lain karena di sebabkan
oleh beberapa factor antara lain :Warisan sejarah yaitu menyangkut adanya
batas-batas wilayah yang tidak jelas antara Vietnam dengan Kamboja.
1.
Adanya
keinginan dari Vietnam untuk memegang kendali atas Indocina termasuk didalamnya
adalah Kamboja dan Laos.
2.
Adanya
perpecahan antara dua kekuatan besar komunis di dunia yaitu Uni Soviet dan
Cina.
3.
Kamboja
selalu menjadi daerah rebutan antara Thailand dan Vietnam. Diantara keduanya
tidak ingin Kamboja sebagai abut loncatan untuk menyerang negaranya
4.
Adanya
kepentingan, dengan Hanoi’s Blue Print ingin menjadikan Hanoi
sebagai sentral kekuatan bagi seluruh Indocina.
Intervensi
Vietnam Ke Kamboja tahun 1978 dimulai ketika pada 3 Desember 1978, Vietnam
mangumumkan bahwa pasukan pemberontak Kamboja telah mendirikan KNUFNS (Front
persatuan nasional bagi keselamatan Kamboja) dibawah Heng Samrin. Invasi itu
dilakukan pada 25 Desember 1978. Invasi menyebabkan Phnom Penh jatuh dan berhasil
menggulingkan rezim Pol Pot yang pro Beijing pada 7 Januari 1979. Selain itu,
di saat yang sama KNUFNS memebntuk dewan revolusioner rakyat Kamboja (KPRC) dan
tanggal 11 Januari 1979 memproklamasikan diri sebagai Republic Rakyat Kamboja.
Namun
demikian, di Kamboja terdapat lawan-lawan Vietnam dan tetap meneruskan
perlawanan terhadap pemerintahan Heng Samrin dan Vietnam. Mereka adalah pasukan
Khmer Merah dipimpin Khiu Samphan, pasukan Moulika yang di pimpin oleh Norodom
Sihanouk (berhaluan non-komunis), pasukan Front Pembebasan Rakyat Khamer
(KPNLF) di bawah pimpinan bekas Perdana Mentri Son Sann yang melakukan serangan
Gerilya. Ketiga gerakan tersebut sepakat untuk membentuk pemerintahan koalisasi
di Kamboja untuk mengakhiri pendudukan Vietnam.
Vietnam
meskipun berhasil menguasai dan membentuk pemerintahan boneka di dalam negeri
Kampuchea terjadi usaha untuk menentang pemerintahan komunis itu. Tentu saja
itu memberi peluang bagi negara-negara dan pemerintahan anti komunis untuk
menghambat laju perkembangan komunis di Asia Tenggara. Pemerintahan anti
komunis di Kampuchea dibentuk atas koalisi kelompok Sihanouk, Son San, dan
Khieu Sampan. Koalisi itu membentuk pemerintahan baru di Kampuchea dengan nama
Pemerintahan Koalisi Demokrasi Kampuchea pada tanggal 22 Juni 1982.
Negara-negara anggota ASEAN dan PBB yang sebagian besar anti komunis tentu saja
banyak yang memberi dukungan pada Pemerintahan Koalisi Demokrasi Kampuchea. Hal
itu merupakan salah satu cara untuk menghambat laju perkembangan komunis di dunia.
Salah satu bentuk dukungan pada pemerintahan anti komunis di Kampuchea adalah
mengakui hanya Pemerintahan Koalisi Demokrasi Kampuchea yang berhak memerintah
Kampuchea dan menjadi wakil sah di PBB.
Upaya
awal penyelesaian masalah Kamboja adalah dibentuknya Jakarta Informal Meeting
(JIM). Artinya, pertemuan tidak resmi yang diadakan di Jakarta tahun 1988.
Pertemuan di Jakarta dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas sebagai
penengah di antara pihak-pihak yang bertikai yaitu keempat faksi, kedua tetangga
Indochina dan enam negara ASEAN bertemu untuk mendiskusikan elemen-elemen
mekanisme penyelesaian awal. Sekalipun pembicaraan antar faksi berjalan cukup
alot karena masing-masing bersikeras mempertahankan posisinya, namun hasil dari
pertemuan ini dinilai cukup efektif untuk menyepakati persepsi dan kesepahaman
bersama sehingga beberapa rekomendasi dapat dilahirkan dengan penekanan pada
pemisahan dua isu yaitu berkaitan dengan invasi Vietnam, Vietnam untuk menarik
mundur pasukannya dari Kamboja sebagai itikad baik penyelesaian konflik,
kesepahaman mengenai pentingnya pencegahan berkuasanya kembali rezim Pol Pot
yang telah mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Kamboja, pembentukan kelompok
kerja guna membahas elemen-elemen dasar dari konflik itu sendiri dan menyusun
usulan-usulan sebegai bahan masukan bagi pertemuan selanjutnya.
Dalam
rangka menindaklanjuti JIM I, pada tanggal 16-18 Februari 1989 digelar JIM II
yang turut dihadiri oleh negara-negara peserta JIM I. Pada pertemuan ini dapat
disepakati berbagai kemajuan yang bersifat teknis sebagai tindak lanjut dan
penyeragaman persepsi dari hasil pertemuan pertama. Beberapa hasil yang
menonjol di antaranya adalah penarikan seluruh pasukan Vietnam yang harus
segera dilakukan dengan batas waktu 30 September 1989 sebagai bagian dari
kerangka penyelesaian politik yang menyeluruh. Kemudian dibahas pula mengenai
himbauan penghentian keterlibatan pihak asing termasuk dukungan militer dan
persenjataan terhadap masing-masing pihak yang bertikai di Kamboja.
Diadakan
Konferensi Internasional Kamboja di Paris pada tanggal 23 Oktober 1991. Dan
penandatanganan perjanjian perdamaian Kamboja yang isinya:
1.
PBB
membentuk UNTAC (United Nation Transitional Authority in
Cambodia). UNTAC bertugas di antaranya melucuti senjata, membantu
pemerintahan dan mengorganisasikan pemilu
2.
Pengambilan
keputusan oleh SNC dibawah Sihanouk
3.
Administrasi
dibawah control PBB
4.
Senjata
dan kekuatan asing harus segera meninggalkan kamboja
5.
Demobilisasi
tentara 70 persen sebelum pemilu
6.
Menghormati
hak-hak asasi manusia
7.
Pengungsi
Kamboja punya hak untuk kembali
8.
Penandatanganan
perjanjian oleh 18 negara